Monday, September 3, 2007

Because We're Close..

Nama saya Jono. Saya adalah seorang office boy disebuah perusahaan swasta di Jakarta. Disebuah gedung tinggi dengan dua puluh dua lantai. Dan saya ditugasi untuk mengerjakan segala sesuatu yang ditugaskan pada saya dilantai empat belas.

Rumah saya tidak terlalu jauh dari tempat saya bekerja. Hanya dengan naik satu kali angkutan umum, lantas langsung sampai kedekat rumah saya.

Saya suka sekali bekerja ditempat saya bekerja itu. Karena selain tempatnya tidak terlalu jauh, saya juga suka dengan orang-orang yang bekerja disana. Mulai dari teman-teman rekan kerja saya sesama office boy atau office girl, juga para karyawan-karyawan kantoran-nya.

Mereka, para karyawan kantoran itu, umumnya baik dan ramah. Saya merasa, saya tidak dibedakan dari mereka. Mereka suka mengajak saya ngobrol, bahkan mereka sering pula bercanda dengan saya. Saya benar-benar senang dengan keadaan seperti ini. Pekerjaan saya yang begitu memeras keringat dan tenaga, semua seolah terbayar dengan keadaan yang menyenangkan itu.

Saya jadi suka memberikan mereka bantuan lebih baik dari biasanya. Kadang saya suka menawarkan untuk membuat secangkir kopi atau teh untuk mereka disiang hari. Dan jika sudah begitu, lantas banyak yang ikut-ikutan minta saya buatkan. Ah, tidak ada salahnya dengan itu. Toh, saya senang membuatkannya. Ditambah, kadang-kadang salah satu dari mereka juga suka memberikan makanan untuk saya. Bahkan beberapa kali, kami sering makan dari satu piring. Jadi ya, hitung-hitung sebagai timbal balik saja.

Dari karyawan-karyawan itu saya juga sering mendapatkan uang tips. Hmm, saya tidak terlalu mengharapkan ini juga sih. Tapi saya senang. Dan ada juga salah satu dari mereka yang suka bertemu saya dibis umum setiap kali saya pulang. Ya, kebetulan kami memang searah. Dan dalam perjalanan pulang itu, dia sering memutar musik dan mendengarkannya melalui earphone. Wah, saya selalu ditawarinya untuk sama-sama mendengarkan musik yang ia putar, melalui earphone tersebut. Saya yang sebelah kiri, dia yang kanan. Atau sebaliknya. Hmm, perjalanan pulang jadi menyenangkan dan membuat kami tidak terlalu peduli akan berjejalnya orang didalam bis dan macet yang sepertinya menjadi menu petang hari kota ini.

Salah satu dari mereka yang memiliki kendaraan pribadi juga sering menawarkan saya untuk menumpang, jika memang kebetulan sedang bertujuan melewati daerah dekat rumah saya.

Keadaan ini akhirnya membuat saya jadi tidak canggung lagi kepada mereka. Saya pikir, untuk apa merasa canggung? Toh mereka memang baik semua. Toh, saya juga tidak dibedakan meski posisi saya adalah orang belakang. Bercanda dengan mereka juga akhirnya menjadi lebih dari biasanya. Saya bisa saja meledek salah satu dari mereka. Hahaha.. Saya ingat, saya pernah mencolek bokong salah satu dari mereka. Dan buat saya, hal itu sangat lucu sekali. Dan memang siempunya bokong itu lantas mengatakan saya kurang ajar. Tapi saya yakin sekali, itu hanya bercanda. Ada juga yang begitu lewat didepan saya, saya lantas bersiul-siul menggoda layaknya laki-laki iseng dipinggir jalan melihat perempuan lewat. Buat saya, hal ini biasa saja. Kan, saya sudah akrab dengan mereka.

Keadaan ini membuat saya menjadi bebas untuk berlaku yang saya mau. Rasanya nyaman sekali. Seperti dirumah saja. Saya bebas mengatakan apa yang saya rasakan. Jika saya terlalu letih untuk dimintai bantuan, saya tinggal menolaknya. Atau mereka yang tiba-tiba meminta tolong pada saya tetapi secara mendadak dan tiba-tiba, padahal pertolongan yang dimaksud menyita tenaga dan waktu saya. Saya tinggal tolak saja dengan alasan, kenapa bukan sedari tadi meminta tolong pada saya. Apalagi yang hanya meminta dibuatkan kopi atau teh. Sebenarnya menurut saya, jika bisa mengerjakan sendiri untuk apa meminta bantuan saya? Saya yakin ini tidak akan membuat mereka marah. Ini semua saya pikir karena saya memang sudah akrab dengan mereka.

Pernah suatu kali, salah satu dari mereka meminta tolong saya untuk mem-fotokopi kertas-kertas yang saya tidak tahu apa isi kertas-kertas yang menumpuk itu. Dengan mudahnya, saya tolak saja. Saya bilang padanya, saya tidak mau. Saya lantas pergi saja dari hadapannya dengan kertas-kertasnya itu. Ah, senang sekali, ternyata keakraban ini membuat dia begitu pengertian, dan keakraban ini membuat saya tidak bersusah payah mencari-cari alasan. Karena, saya juga pernah harus berbohong dengan mengatakan kepala saya sedang pusing. Tapi tentunya itu sudah tidak perlu lagi. Saling pengertian, saling terbuka, dan saling akrab. Toh, setelah itu ternyata mereka tetap saja baik kepada saya. Ah.. sekali lagi, saya senang sekali bekerja disini!

Sampai pada suatu hari saya menemukan berbedanya sikap mereka terhadap saya. Dan saya tidak mengerti akan hal ini. Ada apa kira-kira? Candaan-candaan saya lantas disambut dingin oleh mereka. Salah satu dari mereka yang sering pulang satu bis dengan saya memilih untuk duduk berjauhan. Yang pernah memberikan saya makanan-makanan, tidak lagi bahkan hanya sekadar menawarkan. Apalagi yang pernah makan satu piring, melihat saya saja sudah tidak mau. Padahal saya tersenyum dan melontarkan sapaan penuh canda.

Salah satu dari mereka yang suka meminta saya buatkan kopi atau teh, datang ke pantry lantas meminta buatkan kopi dengan muka masam dan tanpa candaan sedikitpun. Saya ingin menolaknya seperti yang sudah-sudah. Tapi melihat ekspresi wajahnya yang seperti itu saya lantas merasa ngeri untuk menolaknya. Keadaannya sedang aneh, saya pikir.

Tetapi ini berlanjut sampai berhari-hari. Sikap mereka benar-benar aneh. Setiap saya datangi meja-meja mereka, mereka yang tadinya terdengar riuh dengan candaan mereka dari kejauhan, lantas dalam sekejap menjadi hening seperti kuburan.

Adalah dia yang pernah sering menawarkan makanan yang akhirnya mengatakan pada saya kenapa sikap mereka berubah. Itupun ketika akhirnya saya menemukan kesempatan bertanya. Dengan muka masam dia mengatakan,
“Sikap kamu itu tidak membuat kami nyaman. Sepertinya kamu memang sudah tidak bisa lagi membantu kami. Padahal tugas kamu disini membantu kami kan? Ketidaknyamanan kami yang berhubungan dengan posisi kamu adalah kamu tidak mau dimintai bantuan, malah menolaknya. Kadang kamu juga kasar menolaknya.

Belum lagi kamu kok sepertinya kurang ajar pada kami. Kami bukan mau merendahkan kamu mengingat posisi kamu disini. Kamunya saja yang memang tidak sopan. Ini tidak ada hubungannya dengan posisi kamu disini. Bukan karena kamu orang belakang makanya kamu kami sebut kurang ajar dengan sikap-sikap kamu itu.”

“Karena walaupun kamu sama posisinya dengan kami, tetapi dengan sikap kamu yang seperti itulah kamu kami anggap kurang ajar dan tentunya itu membuat kami tidak merasa nyaman. Sekali lagi, ini bukan karena posisi. Kami tidak pernah merendahkan posisimu dikantor ini.” lanjutnya.

Saya lantas menjawabnya dengan pertanyaan, “Kenapa yang lain diam saja? Kenapa tidak bilang apa-apa pada saya?”

“Mereka tidak tega padamu. Saya juga begitu. Tapi saya pikir kamu akhirnya harus tahu juga. Biar kamu tahu diri.”

***

Dan hal terakhir yang saya dapat adalah keputusan dari atasan yang menaungi para office boy/girl bahwa saya harus di rolling. Alias saya harus ditukar posisi oleh office boy dari lantai lain. Memang hal ini sudah merupakan rutinitas dalam beberapa bulan sekali, dan seharusnya kami di-rolling. Tapi itupun sebenarnya didasari hasil survey dari para karyawan itu sendiri sebelum keputusan dibuat. Dan yang biasanya saya dipertahankan untuk tetap dilantai itu, kali ini tidak. Ya, keberadaan saya dilantai itu sudah tidak diinginkan lagi. Dan saya akhirnya ditempatkan di lantai enam belas, dimana orang-orangnya terkenal ketus-ketus dan menyebalkan.

Akhirnya saya menyadari dan cuma bisa merenungi, betapa sayangnya keakraban itu lantas hilang karena sikap saya yang lantas menjadi melonjak seperti itu. Sayang sekali keakraban itu hilang karena ke-songong-an saya.

Saya terlupa bahwa hal ini sebenarnya sering saya dapati dipergaulan dan dikehidupan sehari-hari. Misalnya antara teman. Karena merasa sudah akrab satu sama lain, kita lantas menjadi lupa diri dan merasa sah-sah saja melakukan apapun yang kita mau, mengatakan apapun yang kita mau, tanpa berpikir kalau ada beberapa atau banyak hal yang bisa jadi dirasa sangat tidak nyaman. Hal-hal yang sebenarnya jadi tidak menghormati dan tidak menghargai atau bahkan mungkin menyinggung perasaan. Songong. Lancang.

Ini adalah pelajaran yang saya dapat, walau bagaimanapun akrabnya, saya tidak boleh lantas merasa saya bebas kurang ajar seperti itu. Jika ada orang yang berlaku baik kepada kita, bukan berarti kita lantas bisa seenaknya. Dan mudah-mudahan saya bukanlah satu-satunya yang ingat akan hal ini. Dan baru menyadarinya setelah melakukannya.

0 komentar: