Friday, May 27, 2011

Inspired by Infotainment, Celebrities, or some Victim?



Infotainment. Sebuah acara yang menyajikan berbagai kisah-kisah para selebritis, berita-berita seputar mereka. Dari mulai yang dianggap penting sampai yang beneran ga ada penting-pentingnya sama sekali. Banyak berita-berita dari para seleb itu yang disajikan sedemikian rupa hingga kesannya lebih penting dari berita lainnya. Dan diantara berita para seleb itu pastinya ada berita-berita tentang kisah cinta mereka. Ada yang baru jadian, ada yang putus, ada yang cerai, ada yang ini, ada yang itu.


Umumnya kisah cinta seleb-seleb yang bubaran lebih heboh ketimbang berita-berita tentang mereka lainnya.


Seleb A yang diwawancarai akhirnya mengatakan banyak hal tentang kisahnya yang berantakan itu. Dari mulai kenapa bisa begitu sampai ujung-ujungnya mengkambing hitamkan sang mantan pasangan atas hubungan mereka yang kandas.


Seleb B, yang adalah mantannya si seleb A, juga diwawancarai. Pastinya dia juga punya versi sendiri tentang hubungannya yang berantakan bersama seleb A itu. Dan sama seperti seleb A, akhirnya omongan dari seleb B ini terkesan seperti menyalahkan seleb A atas hancurnya hubungan mereka.


Hmm, mana yang bener? Kenapa dari mereka berita yang ada malah jadi ga karuan begitu? Si A bilang apa, si B ngomong apa. Katanya, si A begini, begini, begini. Terus si B bilang, begitu, begitu, begitu. Mereka ga ada yang mau disalahkan atas hancurnya hubungan mereka berdua. Mereka ingin jadi yang paling bener, dan mantan pasangan merekalah yang salah. Mereka saling memojokkan satu sama lain.


Kadang seorang seleb jika sedang mengalami hal seperti ini bukan hanya ga mau disalahin dan memposisikan diri sebagai korban. Bahkan ada yang terkesan bahwa dia adalah korban yang menderita.


Hmm, ini yang sebenernya sering terjadi dalam kehidupan kita. Ya, kita. Yang mungkin bukan orang yang disorot dimedia manapun. Pada saat kita punya masalah dengan percintaan atau mungkin pertemanan, kita cenderung ingin berada diposisi seorang korban. Kita cenderung lebih suka berada diposisi sebagai orang yang tersakiti, meski ga mau terlihat menderita tentunya. Kita lebih nyaman berada diposisi sebagai si-bukan-penyebab dari masalah itu terjadi.


Dan katakanlah temen-temen kita sendiri adalah media, seperti layaknya seorang seleb, kita ga mau ‘disorot’ oleh temen-temen kita sebagai si penyebab masalah itu terjadi. Kalo pake istilah sinetron nih ya, kita ga mau diposisikan sebagai tokoh antagonis.


Lalu akhirnya ngomong kesana, ngomong kesini kalo kita diperlakukan ga bener oleh orang yang bermasalah dengan kita. Kesana bilang kita dijahatin, kesini bilang kita disakitin, dan terus begitu.


Hmm, apapun masalahnya kayanya ga usah deh gembar-gembor kesana-kemari. Ini ga ada bedanya dengan menjelek-jelekan orang lain tentunya. Apalagi ini dilakukan agar kita merasa aman. Percayalah, ini ga menyelesaikan masalah. Tapi malah memperkeruhnya.


Well, yang pasti masalah terjadi karena ada penyebab dan akhirnya ada akibat. Siapa yang salah, siapa yang jadi korban. Dan bisa jadi penyebab sekaligus korban adalah kita sendiri tentunya. Kita yang menyebabkan, kita juga yang jadi korban. Jadi bukan hanya kita yang jadi korban dan akhirnya orang lain yang menyebabkan. Begitu juga sebaliknya. Sebaiknya emang kita juga harus introspeksi diri, apa bener kita ini adalah korban saja? Bukan juga penyebab? Atau paling tidak, punya andil makanya masalah itu sampe terjadi.


Toh kalo emang kita yang jadi korban, kita juga inget-inget, kenapa bisa begitu. Apakah ada perilaku kita yang ga ngenakin buat yang bermasalah dengan kita itu, entah pasangan atau sahabat kita. Kalo emang awalnya asik-asik aja terus jadi bermasalah, berarti emang ada yang ga beres disitu kan?


Dan lagi, kenapa juga kita kok seneng banget dengan seolah berada diposisi sebagai korban? Kenapa? Karena kita ga mau disalahin? Karena kita menjaga nama baik, atau apa? Cari dukungan? Atau malu karena jadi orang yang ngeselin? Well, bukan gitu seharusnya.




Hey, dulu kita cinta lho sama pasangan kita itu. Dulu kita sayang lho sama teman-teman atau sahabat kita tersebut. Kita pernah menghabiskan waktu kita bersama mereka lho. Kita pernah seneng-seneng atau bahkan bener-bener bahagia bersama mereka lho. Kok sekarang jadi gini? Bukankah lebih baik kita ga ngomong yang memojokkan mereka ketika semua itu sudah berakhir? Kok masalah yang terjadi malah dijadikan makin keruh dengan mulut kita sendiri? Kok sekarang seolah mereka adalah sampah lewat omongan kita sendiri? Apakah lantas kita menjadi orang yang lebih baik dengan bicara omongan yang memojokkan atau menjelek-jelekan orang lain? Engga kan? Apalagi berlindung atau agar merasa aman dibalik omongan-omongan itu semua? Haloo…!!


Dan ya, yang mungkin emang bisa kita ambil hikmahnya kalo emang kita udah terlanjur dijelek-jelekin ama mantan pasangan atau orang yang dulu sempet jadi temen kita itu adalah latihan untuk mental kita supaya lebih kuat lagi. Atau menganggap diri kita ini sebagai seleb aja. Yang diomongin sedemikian rupa kesana-kemari. Hahaha… Bukankah seleb emang seperti itu kehidupannya? Itung-itung latihan mental (juga) kalo kita emang jadi seleb beneran. Dengan gitu kan udah siap kalo kisah kita masuk ke infotainment. Hehehehe…

0 komentar: